Bandar Lampung – Universitas Lampung (Unila) kembali menjadi sorotan nasional, namun bukan karena prestasi ilmiahnya, melainkan karena terjerat dalam skandal besar dugaan plagiarisme dan praktik perjokian jurnal internasional.
Beberapa dosen, termasuk yang menjabat sebagai guru besar, diduga mencantumkan nama orang yang tidak memiliki kontribusi nyata dalam penelitian ilmiah hanya demi memenuhi persyaratan administratif untuk kenaikan jabatan akademik.
Dugaan kuat mengarah kepada keterlibatan aktor internal kampus, termasuk nama-nama berinisial “RP”, yang diyakini adalah Ryzal Perdana, tokoh berpengaruh yang juga memimpin Yayasan Pendidikan Unila. Lebih dari sekadar pelanggaran prosedural, ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri.
Eksekutif Komisariat Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Universitas Lampung menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk penyimpangan akademik ini. Bagi LMND, pendidikan adalah alat pembebasan, bukan ladang komersialisasi jabatan dan ego akademik. Praktik perjokian dan plagiarisme yang kini terkuak mencerminkan wajah pendidikan tinggi yang telah dikooptasi oleh kepentingan neoliberal. Jabatan guru besar, yang seharusnya menjadi simbol kepakaran dan dedikasi akademik, justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi melalui cara-cara yang menistakan etika ilmiah.
Samsara Leon, Ketua Komisariat LMND Unila, menyatakan bahwa skandal ini tidak hanya mencoreng nama institusi tetapi juga menyakiti nurani kolektif mahasiswa yang percaya bahwa Unila adalah tempat tumbuh dan berjuang. “Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap esensi pendidikan sebagai alat pembebasan. Kami tidak bisa diam ketika ilmu pengetahuan dijadikan komoditas, dan jabatan akademik diperdagangkan dengan cara-cara curang,” tegasnya.
LMND menilai bahwa skandal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan internal dan akuntabilitas institusi. Situasi ini memperlihatkan adanya pembiaran sistemik terhadap praktik kecurangan demi mempercepat mobilitas struktural para dosen, yang pada akhirnya memperkuat dominasi elit-elit kampus yang tidak lagi berpihak pada etika dan tanggung jawab sosial.
Marco Fadhillah, Sekretaris Komisariat, menambahkan bahwa mahasiswa sebagai elemen kritis dalam universitas merasa dikhianati oleh situasi ini. “Kami sebagai mahasiswa berhak atas pendidikan yang bersih dan bermartabat. Skandal ini memperlihatkan betapa kronisnya problem tata kelola di kampus kita,” ujarnya.
Fakta lain yang membuat publik patut geram adalah bahwa Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek sebenarnya telah melakukan pemeriksaan terhadap kasus ini sejak Maret 2023 dan telah mengeluarkan hasil temuannya. Namun, dua tahun berselang, pada 2025, Kementerian justru kembali melayangkan surat ke Senat Universitas untuk membentuk tim pemeriksa baru guna menelaah pelanggaran integritas akademik terhadap pihak-pihak yang sama. Langkah inimenimbulkan pertanyaan serius yaitu apakah hasil pemeriksaan sebelumnya tidak kredibel, atau justru sengaja diabaikan?
Lebih parah lagi, pembentukan tim pemeriksa baru oleh Ketua dan Sekretaris Senat dilakukan secara sepihak tanpa rapat pleno dan tanpa persetujuan seluruh anggota Senat. Padahal, Senat Universitas merupakan lembaga kolektif kolegial yang keputusannya tidak dapat dimonopoli oleh dua orang. Terlebih, dalam struktur Senat telah tersedia Komisi Etik yangsecara legal-formal, memiliki SK, dan diakui seluruh anggota. Tindakan pembentukan tim ad hoc ini tidak hanya mencederai prinsip etik kelembagaan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana mekanisme formal universitas dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan dan melindungi elite yang terlibat.
Dari sisi lain, Eksekutif Komisariat LMND UniversitasLampung tidak akan tinggal diam. Skandal ini menjadi momentum untuk membangun kembali kesadaran kolektif dalam menciptakan ruang akademik yang sehat dan progresif.
Naufal Zaki, Kepala Departemen Pengembangan Organisasi, mengkritik secara langsung praktik kepemimpinan kampus yang membiarkan ketimpangan nilai ini berkembang. “Ini bukan semata masalah etika individual. Ini adalah sistem yang busuk dari atas ke bawah. Rektor sebagai kepala institusi seharusnya menjadi pelindung etika ilmiah, tetapi justru menjadi aktor dalam permainan curang. Ini membuktikan bahwa institusi ini sedang sakit, dan penyakitnya dimulai dari kepalanya sendiri,” katanya.
Di tingkat akar rumput, LMND Universitas Lampung juga menyadari pentingnya pengorganisiran mahasiswa dalam lingkup fakultas. Jose Romual, Koordinator Fakultas LMND Universitas Lampung, menyatakan bahwa aksi-aksi intelektual dan diskusi terbuka akan terus digalakkan agar mahasiswa tidak tercerabut dari persoalan yang tengah melanda institusinya. “Kita tidak boleh menganggap ini urusan dosen semata. Ini adalah tanggung jawab moral seluruh komunitas akademik,” katanya.
Tak kalah penting, Fanni Rahma, Kepala Departemen Keperempuanan, turut menegaskan bahwa isu ini telah mencederai kepercayaan publik secara menyeluruh, tak hanya dalam aspek akademik, tapi juga dalam legitimasi moral institusi pendidikan. “Kita sedang menyaksikan betapa kampus telah kehilangan rohnya sebagai tempat pencarian kebenaran. Ketika manipulasi dan kepentingan menjadi hal yang biasa dalam produksi ilmu pengetahuan, maka universitas tak ubahnya institusi kuasa, bukan institusi pembebasan. Mahasiswa tidak boleh diam melihat kampusnya menjadi alat pemutihan kebusukan birokratik,” ucapnya.
Melihat kompleksitas skandal ini, LMND Universitas Lampung mendesak Rektor Unila untuk bersikap transparan dan tegas, termasuk mencopot guru besar atau pejabat kampus yang terbukti melakukan pelanggaran etika akademik. Pemeriksaan internal tidak cukup jika tidak disertai keterbukaan informasi kepada publik dan partisipasi sivitas akademika dalam pengawasan. Rektor bisa terancam dicopot jika tidak mampu menyelesaikan masalah ini secara tegas dan menyeluruh, apalagi menurut informasi Kemendiksaintektelah menyiapkan Plt Rektor Unila yaitu Prof. Dr. Sri Suning Kusumawardani, S.T., M.T.
LMND percaya bahwa hanya dengan menegakkan etika dan integritas, pendidikan dapat kembali menjadi kekuatan pembebas. Oleh karena itu, kami menyerukan kepada seluruh elemen mahasiswa, dosen progresif, dan masyarakat umum untuk bersama-sama mendesak perubahan di tubuh Unila. Ini bukan hanya soal mencopot pelaku, tetapi membangun kembali struktur pendidikan yang berpihak pada rakyat, bukan pada elit akademik yang mencederai makna ilmu pengetahuan.