Peringati Hari Tani Nasional, SP Sebay Gelar Aksi di Bandar Lampung

Read Time:2 Minute, 27 Second
Peringati Hari Tani Nasional, SP Sebay Gelar Aksi di Bandar Lampung

Bandar Lampung – Sebanyak puluhan petani perempuan dari Desa Sidodadi, Kab. Pesawaran, yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung, melakukan aksi unjuk rasa di Tugu Adipura, Bandar Lampung, pada Selasa (24/09) siang.

Dalam aksinya, SP Sebay Lampung menggugat dan menuntut untuk :

1. Bersihkan mafia di tubuh Kementrian ATR-BPR dan usut korupsi agraria.

2. Hentikan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat yang dilabeli dengan Proyek Strategis Nasional (PSN).

3. Hentikan kriminalisasi terhadap petani.

4. Adanya persamaan upah antara buruh tani laki-laki dan perempuan

5. Hentikan mekanisasi pertanian

6. Libatkan perempuan petani dalam setiap ruang pengambilan keputusan

7. Kembalikan tanah yang sudah habis HGU nya kepada untuk dikelola masyarakat.

Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung, Reni Muliana Muttia menyampaikan bahwa hari tani nasional yang diperingati setiap tanggal 24 september merupakan tanggal disahkannya UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang biasa disebut dengan UUPA 1960.

“Tonggak Sejarah untuk melaksanakan land reform, satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia. Sudah lebih dari setengah abad berlalu reforma agrarian tidak kunjung terealisasikan bahkan direzim Jokowi yang berwatak neolib petani semakin disengsarakan,” ucapnya.

Ia juga menyampaikan bahwa jumlah petani gurem di Indonesia melonjak 21% pada tahun 2023. Meningkatnya dan tingginya jumlah petani gurem menunjukan bahwa petani di Indonesia masih berjuang dengan keterbatasan lahan, yang berdampak langsung bagi produktivitas dan kesejahteraan petani.

“Disamping ketertindasan petani yang semakin mesif, ditengah budaya patriarkis yang dilanggengkan dengan mode produksi capitalism, menjadikan petani Perempuan semakin terpinggirkan, padahal perempuan berperan penting dalam proses produksi pertanian, namun segala kebijakan yang berlangsung semakin mengusir Perempuan dari pertanian,” pungkasnya.

Ia juga menyayangkan saat ini, perempuan semakin sulit mengembangkan pengetahuan pertanian berwawasan alamnya, maka semakin sulit menghasilkan pangan keluarganya.

“Padahal saat ini, petani sudah cukup terpuruk akibat perubahan iklim yang berakibat kegagalan panen dan instabilitas harga yang disikapi pemerintah dengan kebijakan impor pangan besar-besaran semakin menghancurkan produksi pangan saat ini untuk Peminggiran terhadap perempuan dan penghancuran terhadap kedaulatan perempuan dalam pertanian, terutama kedaulatan perempuan terhadap pelindung pangan merupakan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan negara berperan aktif melanggengkannya,” imbuhnya.

Reni mengajak kepada petani, perempuan, buruh, rakyat miskin, dan pemuda untuk mengkonsolidasikan kekuatan atas ketertindasan yang dirasakan rakyat pada saat ini.

“Kita tidak akan berhenti melakukan aksi, tetapi akan terus menuntut hak kita sebagai perempuan sampai diakomodir oleh pemerintah,” tutupnya.

Sementara itu, Kristina Tia Ayu, mengatakan bahwa tidak ada Reforma Agraria Tanpa adanya Demokrasi dan Keadilan Gender.

“Kondisi objektif yang terjadi beberapa dekade terakhir ditengah kekuasan rezim neoliberal yang menghamba kepada kepentingan modal mengakibatkan terakumulasinya penindasan terhadap rakyat,” ucapnya.

Kristin juga menyampaikan bahwa penindasan di zaman sekarang, sangat masif dilakukan oleh rezim neolib dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan ekonomi, politik hanya untuk memberikan karpet merah kapitalisme. Mulai dari disahkannya UU Ciptaker, Tapera, UU Minerba, Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 dan masih banyak lagi kebijakan kontrofersial yang menambah nafas Panjang ketertindasan terhadap rakyat.

Di sela-sela aksi, petani juga membagikan sayur-sayuran hasil panennya kepada masyarakat di sekitar Tugu Adipura secara gratis.

0 0
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %