Bandar Lampung – Sebanyak puluhan masyarakat petani dan nelayan perempuan di Lampung, mengadakan diskusi publik tentang “Apakah Indonesia Krisis Pangan?” yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung.
Mereka berkumpul di Aula PKBI Lampung, yang beralamat di Jl. Abdi Negara I No. 8, Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung pada (16/10/2024) siang.
Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber, diantaranya Ketua BEK SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Meutia, kemudian Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, dan Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi.
Dalam penyampaiannya, Ketua BEK SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Meutia mengatakan krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
Ia juga menyampaikan faktor utama terjadinya krisis pangan di Indonesia dan keterlibatan perempuan dalam menyampaikan pendapat dinilai masih belum ada.
“Dampak perubahan iklim menjadi faktor utama terjadinya krisis pangan di Indonesia karena kondisi cuaca saat ini tidak bisa diprediksi,” ungkapnya
“Ekspoitasi secara masif yang bertujuan investasi oleh pemerintah, juga menjadi faktor krisis pangan sehingga masyarakat petani dan nelayan dapat kehilangan pekerjaannya hingga beralih profesi,” katanya.
“Keterlibatkan perempuan dalam hal penyampaian pendapat, serta pengambilan keputusan saat ini tidak dapat bersuara dan hanya bisa melihat dan mendengarkan saja,” tuturnya
Reni memaparkan dampak adanya krisis pangan dan Iklim bagi perempuan, diantaranya :
a. Harga kebutuhan pokok semakin mahal
b. Kebutuhan pokok bergantung pada Impor
c. Hasil pertanian dan hasil tangkapan yang rendah membuat petani dan nelayan beralih profesi
d. Hilangnya pangan pangan lokal akibat proyek pemerataan pangan
e. Perempuan mendapatkan beban berlapis dan akhirnya harus mencari upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
f. Masyarakat kekurangan gizi sehingga ibu hamil dapat kekurangan gizi selama masa kehamilan
g. Kekerasan berbasis gender (KDRT dan Ekploltasi)
h. Pernikahan Dinl
Ia pun berharap kedepannya di ruang-ruang diskusi agar perempuan dapat diperlibatkan sehingga menciptakan pemikitan-pemikiran yang dapat menjadi solusi kedepannya.
Sementara itu, Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi menyebutkan bahwa permasalahan krisis pangan merupakan persoalan yang kompleks
“Persoalan krisis pangan merupakan persoalan yang kompleks karena selalu terjadi di setiap tahunnya, dan juga berdampak pagi kaum perempuan,” tegasnya.
“Penyebab terjadinya krisis iklim karena Kebijakan dari negara yang melakukan bisnis-bisnis ekstraktif yang merupakan kegiatan bisnis mengambil bahan mentah dari alam untuk diolah menjadi produk,” tambahnya.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya, serta merupakan mandat konstitusi yang dimana semua masyarakat berhak atas kehidupan yang layak dan tercukupi.
Di sisi lain, pengesahan UU Omnibus Law dapat memberi celah dalam mempermudah impor komoditas pangan, dimana pada pasal 15 ayat 1 UU Omnibus Law, mengatakan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan wewenangnya wajib meningkatkan produksi pertanian, yang dimana pada UU eksisting sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Direktur LBH Bandar Lampung juga menambahkan saat ini petani sedang menghadapi konflik lahan oleh mafia tanah, perusahaan, bahkan pemerintah pun turut andil dalam menjadi pelaku perampasan lahan petani. Kunci utama dalam menghadapi dan melawan adanya krisis pangan adalah solidaritas.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, menjabarkan bahwa pengelolaan pangan dibagi menjadi 2 sisi, yaitu pangan sebagai komunitas dan pangan sebagai identitas
“Pengelolaan pangan dibagi menjadi 2 sisi, yaitu pangan sebagai komunitas yang merupakan gerakan lumbung di tingkat komunitas/ kelompok masyarakat yang dikembangkan sebagai suatu bentuk jaminan sosial lokal dan pangan sebagai identitas yang merupakan bagian dari budaya masyarakat dan mencerminkan identitas suatu daerah atau bangsa,” tuturnya.
Ia menyebutkan bahwa salah satu cara dalam menghadapi krisis pangan saat ini adalah diversifikasi yang merupakan strategi untuk memperbanyak variasi produk, layanan, atau pasar, sehingga tidak bergantung pada satu sumber pendapatan saja.
“Peningkatan suhu dan penyakit oleh hama yang menjadi kunci atas kegagalan panen, pestisida atau herbisida yang katanya menghilangkan hama dari produksi bahan petani, justru merupakan produk yang jahat yang berpengaruh terhadap produktivitas pertanian,” tutupnya.