UKPM Teknokra Unila Gelar Nobar Film Dokumenter Saidatul Fitriah: Tears In Heaven

Read Time:2 Minute, 54 Second
UKPM Teknokra Unila Gelar Nobar Film Dokumenter Saidatul Fitriah: Tears In Heaven

Bandar Lampung – Unit Kegiatan Penertiban Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) menggelar Nonton Bareng dan Diskusi Film Dokumenter Saidatul Fitriah: Tears In Heaven pada Kamis, (3/10/2024) malam.

Nobar tersebut dilaksanakan di Gedung Graha Kemahasiswaan lt 1, Unila serta dihadiri atau menjadi pemantik dalam nobar tersebut adalah LBH Pers Bandar Lampung Prabowo Pamungkas, Ketua AJI Lampung Dian Wahyu Kusuma, Jurnalis Senior Santoso Budiman, serta Alumni Teknokra Unila Juendra Afriansyah.

Ketua AJI Lampung, Dian Wahyu Kusuma menyampaikan bahwa film tersebut sebagai resiko kepada jurnalis pada saat melakukan liputan aksi.

“Film ini kita bisa liat bahwa resiko menjadi jurnalis saat meliput aksi. Maka dari itu, kita juga mengadakan posko peliputan untuk melakukan evaluasi bersama agar tidak terjadinya insiden yang terjadi,” ujarnya.

Dian juga mengatakan bahwa pada tahun 2008, AJI Lampung mengadakan penghargaan yang bernama “Penghargaan Saidatul Fitria” terhadap jurnalis dan tokoh yang telah berkontribusi secara signifikan di bidang jurnalisme dan hak asasi manusia (HAM) di Lampung.

Dian juga menilai bahwa kebebasan pers saat ini sudah menurun karena adanya intervensi dari pihak kampus.

“Kebebasan pers saat ini sudah menurun yang dimana juga ada intervensi dari pihak kampus, meskipun demikian, teman-teman pers kampus harus lebih berani dalam meliput peristiwa/berita, kami juga memfasilitasi untuk menyuarakan pendapatnya,” tuturnya.

Sementara itu, LBH Pers Bandar Lampung Prabowo Pamungkas menyampaikan aspirasi terhadap film tersebut sebagai refrensi terjadinya pelanggaran HAM masa lalu.

“Saya mengapresiasi terhadap film ini yang menjadi refrensi atas terjadinya pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh aparat,” katanya.

“Kita bisa lihat setelah orde baru, akhir-akhir ini banyak mahasiswa ditangkap saat melakukan aksi, hingga menimbulkan korban”, tambahnya.

“Seharusnya aparat paham mengenai mekanisme pengamanan aksi, seperti contohnya penggunaan gas air mata menjadi pembahasan di kawan-kawan LBH agar tidak terjadinya korban,” tegasnya.

Prabowo menilai nobar Film dokumenter tersebut secara tidak langsung kita melakukan konsolidasi atau merefleksikan. terkait pola permasalahan hari ini dengan permasalahan tahun 1998.

Jurnalis Senior, Santoso Budiman menyampaikan bahwa film tersebut mengisahkan perjalanan Saidatul Fitriah, seorang aktivis pers mahasiswa, yang berjuang melawan ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi saat aksi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) pada tahun 1999.

Dalam aksinya, Saidatul Fitriah menjadi korban kekerasan represif dari aparat negara, yang akhirnya merenggut nyawanya.

“Saya sudah melihat rentetan peristiwa-peristiwa kekerasan yang telah terjadi pada tahun 1998 di Lampung, Saya melihat teman-teman aktivis saat ini sudah duduk manis di gedung dewan yang dulu koar-koar menolak UU Dwifungsi Abri, dsb, justru mendorong militer berkuasa kembali, kemudian bebrapa aktivis/ saksi-saksi peristiwa kekerasan bahkan sudah meninggal dunia,” ungkapnya.

Budiman menilai bahwa penanganan HAM di Indonesia saat ini hanya diambil aspek kemanusiaannya saja, sedangakan aspek politik dan hukum tidak diusut atau diselesaikan, saya melihat dan menilai saat ini proses demokrasi Indonesia hanya seremonial saja dan tidak menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi sebenarnya.

Alumni Teknokra Unila, Juendra Afriansyah menyampaikan bahwa film dokumenter tersebut tidak hanya tentang keberanian seorang individu, tetapi juga sebuah cerminan dari betapa pentingnya kebebasan pers, suara mahasiswa, dan hak asasi manusia dalam demokrasi, film ini juga merupakan film yang romantik.

“Tepat hari ini, 25 Tahun Saidatul Fitriah telah meninggal dunia, dimana Almarhumah telah meninggalkan jejak yang mendalam bagi generasi penerus, dan film ini akan membawa kita kembali ke masa-masa penuh gejolak tersebut, mengingatkan kita tentang harga yang harus dibayar untuk memperjuangkan kebenaran di Indonesia,” ungkapnya.

Juendra menilai bahwa film dokumenter ini sebagai dokumentasi sejarah dalam menghindari adanya distorsi di masa yang akan mendatang.

“Saya harap kepada pers mahasiwa sekarang harus bisa merevitasilasi diri dan harus lebih baik dengan pendahulunya,” tutupnya.

0 0
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %