Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Mengadakan Seminar Reforma Agraria di Unila

Read Time:2 Minute, 16 Second
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Mengadakan Seminar Reforma Agraria di Unila

Bandar Lampung – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar seminar reforma agraria di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung, pada Selasa (16/7).

Acara ini dibuka oleh Dr. Roby Cahyadi Kurniawan, Wakil Dekan 3 FISIP, yang mewakili Dekan FISIP Universitas Lampung.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, sebagai pemateri utama dalam seminar ini, menyatakan, penyelenggarakan seminar reforma agraria bekerja sama dengan FISIP Universitas Lampung.

“Ini adalah momen yang baik karena kampus akhirnya membuka diri untuk mendiskusikan masalah-masalah agraria yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marginal dalam struktur agraria kita, seperti petani, buruh tani, dan masyarakat adat,” kata Dewi.

Dewi menambahkan, seminar ini merupakan refleksi atas pelaksanaan reforma agraria selama kurang lebih 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Menurutnya, agenda reforma agraria selama periode tersebut belum menyasar daerah-daerah konflik agraria secara khusus di Lampung. Di Lampung, tipologi konflik agraria banyak terjadi di desa-desa yang berhadapan dengan klaim-klaim tanah register, seperti Register 1 hingga Register 5, yang merupakan episentrum konflik agraria di provinsi ini.

“Konflik-konflik ini berkaitan dengan klaim kawasan hutan yang merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda. Dulu, di zaman kolonial, selain tanah adat, tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh masyarakat harus didaftarkan dan diregister. Hal ini dinamakan tanah register oleh Belanda,” jelas Dewi.

Dewi juga mengangkat isu konflik agraria yang disebabkan oleh hak guna usaha (HGU).

“Banyak teman-teman petani dan masyarakat pemerintahan desa mengadukan bahwa tanah mereka masih diklaim oleh perkebunan dalam bentuk HGU, baik itu konsesi perkebunan milik negara, seperti PTPN BUMN, maupun HGU swasta. Konflik-konflik ini sudah berlarut-larut selama puluhan tahun dan tidak kunjung diselesaikan,” kata Dewi.

Dewi menyoroti masalah transparansi informasi terkait HGU, yakni penerbitan dan perpanjangan HGU sering kali tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Masyarakat kadang tidak tahu berapa luas HGU tersebut dan kenapa konsesi perkebunan ini ada di tanah mereka. Ketertutupan informasi ini menjadi masalah karena penerbitan HGU yang menyebabkan konflik agraria seharusnya dilakukan secara transparan dan sesuai prosedural,” terangnya.

Dewi menyatakan, seminar ini penting sebagai upaya konsolidasi dengan masyarakat sipil di Lampung, termasuk jaringan-jaringan strategis dengan kehadiran FISIP Unila dan inipara akademisi.

“Kehadiran akademisi menambah semangat baru karena argumen akademis yang diperkuat oleh para pakar dapat menjadi jembatan untuk terus mendesakkan agenda reforma agraria di Lampung.”

Dewi juga berharap bahwa lembaga lain, seperti Ombudsman dan Komisi Yudisial, dapat lebih aktif dalam mengawasi implementasi reforma agraria, termasuk praktek-praktek maladministrasi dan mafia tanah yang terjadi di Lampung.

Dewi menekankan pentingnya peran DPRD Lampung dalam mengawasi implementasi penyelesaian konflik agraria.

“DPRD seharusnya mengecek pelaksanaan reforma agraria setiap tahun untuk memastikan bahwa ketimpangan penguasaan tanah dapat dikoreksi dan jumlah konflik agraria yang sudah dituntaskan dapat meningkat,” katanya.

Seminar reforma agraria ini diharapkan dapat memberikan pencerahan dan mendorong langkah konkret dalam penyelesaian konflik agraria di Lampung.

0 0
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %