Kelompok Perempuan Peduli Buruh Migran (KPPBM) Lampung Timur Tuntut Cabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Buruh Migran di Kawasan Timur Tengah

Read Time:2 Minute, 2 Second
Kelompok Perempuan Peduli Buruh Migran (KPPBM) Lampung Timur Tuntut Cabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Buruh Migran di Kawasan Timur Tengah

Lampung Timur – Pekerja migran adalah seseorang yang bekerja di negara lain selain negara asalnya. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI) Pasal 1 dan 2, Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. Orang yang memilih bekerja ke negeri lain adalah untuk mencari pekerjaan yang diharap lebih baik ataupun dengan alasan untuk memperbaiki keadaan ekonomi nya. Hak bekerja sebagai buruh migran ini juga telah diamandatkan dalam Kovensi PBB 1990 Tentang Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggotanya serta Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang PPTKILN.

Akan tetapi sejalan dengan banyaknya pekerja migran yang bekerja ke luar negeri sejalan dengan tingginya kasus kekerasan, pelecehan, diskriminasi bahkan menjadikorban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tingginya kasus ini banyak terjadi pada perempuan buruh migran yang bekerja di sektor domestik. Sistem migrasi aman yang belumdijadikan acuan baku serta berbagai payung hukum yang tidak responsive gender menjadi alasan banyak terjadinya kasus TPPO.

 

Berdasarkan data dari tahun 2020 hingga 25 Januari 2024 yang diungkapkan oleh Kepala BP2MI sejumlah 2.300 lebih Pekerja Migran Indonesia pulang dalam keadaan meninggal. Berdasarkan tingginya angka kekerasan dan kasus buruh migran terutama perempuan buruh migran di negara – negara kawasan Timur Tengah dengan rata – rata kasus unprosedural pada sektor domestik serta masih tingginya permintaan tenaga kerja oleh negara-negara Arab maka dibuatlah moratorium penempatan pekerja migran melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Tetapi dengan adanya Kepmenaker ini justru menambah angka pemberangkatan pekerja migran dengan cara unprosedural meningkat tinggi. Kepmenaker ini terkesan pragmatis karena pemerintah tidak ingin bertanggung jawab terhadap nasib pekerja migran terutama pekerja migran perempuan.

 
Pemerintah harus segera mencabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Pekerja Migran Indonesia di Kawasan Timur Tengah.

Strategi penempatan melalui sistem SPSK (fokus penempatan negara Arab) yang digadang pun tidak jelas dan sarat menjadi celah eksploitasi baru bagi calon pekerja. Selain Kepmenaker ini, masih banyak hal yang harus dibenahi. Sistem penempatan hanya salah satu siklus yang dihadapi calon pekerja migran. Pemerintah harus lebih fokus dan serius dalam upaya pemberian memberikan perlindungan kepada pekerja migran dari semua tahapan proses migrasi (pra pemberangkatan, pemberangkatan hingga kepulangan). Dengan membangun sistem terpadu yang harus disiapkan oleh kita negara pengirim terintegrasi (kerjasama bilateral) dengan negara penerima pada tahap penempatan hingga kepulangan.

0 0
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %